Semoga Bermanfaat n_n

Gambaran Masyarakat Mentawai

Rabu, September 22, 2010 / Diposting oleh GoZaLi /

Masyarakat suku Mentawai adalah satu suku bangsa di Nusantara dengan kebudayaan yang tradisional dan cara-cara hidup yang masih bersahaja. Tergolongnya Mentawai sebagai salah satu suku terasing disebabkan suku ini mendiami wilayah kepulauan yang relatif terpencil dari penduduk suku-suku bangsa lainnya di pulau Sumatera.                                               
Mentawai merupakan bagian dari propinsi Sumatera Barat dimana asimilasi kebudayaannya tetap berlangsung secara lamban. Hukum adat yang berlaku di Mentawai banyak seiring dengan norma dan etika yang ada dalam ajaran Islam. Dalam beberapa hal Mentawai memang sangat tradisional, sehingga kenyataan yang terlihat "Mentawai identik dengan upacara-upacara adat yang kuno itu" seperti cawat atau kabit sebagai pakaian penduduknya, serta keunikan yang terlihat dalam masyarakatnya.                                                            
Satu hal yang mesti diwaspadai adalah Mentawai bukannya suku bangsa yang tidak punya adat dan norma yang berlaku di masyarakat. Lebih dari itu Mentawai menganut etika yang sangat fanatik.
Bila kita simak, Mentawai benar-benar diatur oleh nilai dan etika yang secara langsung, dijunjung tinggi dalam ajaran Islam. Hal ini terbukti dengan pengakuan Pak Hamzah (50) Kepala Suku Taileleu yang bernaung di bawah desa Pasakiat (lk, 75 kilometer dari Muara Siberut), bahwa Islam sudah dikenal penduduk sejak awal kemerdekaan, tapi karena pembinaan dan pendidikan Islam rendah, maka mereka dibina oleh orang yang non Muslim.          
Meskipun banyak yang mengemukakan kekunoan Mentawai, namun perlu  diungkapkan sisi positif yang ditonjolkan oleh suku Mentawai yang meliputi sikap masyarakatnya, nilai, dan etikanya. Keunikan serta komunikasi Mentawai telah memperlihatkan betapa dalam keterasingan dan keterpencilan, suku Mentawai tetap mempunyai aturan dalam kehidupan bermasyarakat, yang sampai saat ini tetap berlaku. Antara lain adalah sebagai berikut:
- Sikap suka gotong royong, mengenal adanya muhrim, dan terdapatnya hukuman berat terhadap pezina.
Masyarakat Mentawai memang tidak mengenal apa yang disebut zina, karena hukuman yang berlaku keras terhadap pezina. Mentawai berprinsip orang yang melakukan perzinaan hukuman yang pantas adalah bunuh sampai mati atau diusir dari kampung halaman. Namun karena pengaruh zaman dan juga ajaran penghapusan dosa dalam gerakan misionaris pandangan terhadap perzinaan di Mentawai sekarang mulai melemah, hukuman yang banyak diterapkan adalah denda ( = tullo, bahasa Mentawai berarti denda yang dibayar dengan harta seperti parang, peralatan-peralatan adat, babi, bahkan peralatan rumah tangga). Pengambilan denda ini bisa sampai harta kekayaan habis, akhirnya pelaku zina terpaksa juga meninggalkan kampung halaman karena sudah melarat ditambah malu.
- Sikap harga menghargai dan berkeadilan sangat menonjol.
Orang yang tidak tahu menghargai orang lain, tidak mustahil menjadi mangsa hukum. Penduduk tidak boleh berbuat seenak perut. Semua urusan mesti diselesaikan menurut jalur dan norma yang berlaku. Keadilan masyarakat Mentawai berlaku dengan ketat. "Ada sama di makan, tidak ada sama ditahan”, demikian konsekuensi hidup bermasyarakat di Mentawai. Seorang yang mendapat rusa buruan di hutan, akan memukul pentungan sebagai pemberitahuan kepada seluruh masyarakat sesuku dengannya untuk dibagi dan dinikmati bersama. Kehidupan keluarga juga tidak luput menegakkan aturan ini.
- Masyarakat Mentawai jujur dan pantang didustai.
Hal lain yang mesti dijaga dengan Mentawai supaya mereka jangan didustai. Sekali mereka “kena” mereka tidak akan percaya seumur hidup.
- Orang Mentawaipun mengenal aurat dan berbudaya malu.
Tata busana masyarakat asli Mentawai mencerminkan azas-­azas egaliter, dalam tatanan masyarakat tidak ada strata-strata sosial, pimpinan atau anak buah. Pembedaan busana lebih ditentukan pada kejadian, peristiwa, upacara yang dalam hal ini adalah upacara khusus tentang penghormatan arwah (punen). Selain itu busana juga mengungkapkan ciri-ciri kedekatan penyandangnya dengan alam lingkungan yang tropis, berhutan lebat berikut keaneka ragaman floranya. Hal ini antara lain tampak pada banyaknya hiasan floral yang dikenakan.   
Salah satu kelengkapan busana suku Mentawai, yang khususnya dipakai kaum pria adalah cawat tersebut, penutup aurat, terbuat dari kulit kayu pohon baguk dan sebut kabit. Kaum wanita memakai sejenis rok yang terbuat dari dedaunan pisang yang diolah secara khusus dan dililitkan kepinggang untuk menutupi aurat, disebut sokgumai. Selain kabit dan sokgumai, orang-orang Mentawai dapat dikatakan tidak menggunakan apa-apa lagi yang benar-benar menutup tubuhnya selain aneka perhiasan serta dekorasi tubuh yang terbuat dari untaian manik-manik, gelang-gelang, bunga-bungaan dan daun­daunan.                                        
Kalung manik-manik yang sangat impresif yaitu ngaleu menghiasi leher dalam jumlah yang dapat mencapai puluhan, terbuat dari gelas berwarna merah, kuning, putih dan hitam atau hijau. Kedua pergelangan tangan juga dihiasi dengan gelang-gelang manik-manik. Demikian pula pada kedua pangkal lengan dan pada bagian kepala berbaur dengan aneka bunga dan daun-daunan. Ikat kepala ini dinamakan sorat. Sedangkan gelang manik pangkal lengan disebut lekkeu.                                               
Tampilan busana selengkapnya suku Mentawai ini dikenakan pada upacara punen, suatu ritus yang ditujukan untuk menghormati roh nenek moyang. Peristiwa ini melaksanakan praktek sikerei, suatu kegiatan perdukunan. Ritus ini dipimpin oleh seorang kerei (dukun) dalam busana kerei yang sebenarnya adalah busana tradisional Mentawai yang dihiasi dan ditaburi berbagai dekorasi yang lebih banyak dari pada keadaan sehari-hari. Busana kerei ini selain terdiri atas kabit dan sorat juga dilengkapi :
·                     sobok, sejenis kain penutup aurat bercorak dibagian depan kabit.
·                     rakgok, ikat pinggang dari lilitan kain polos, biasanya merah.
·                     pakalo, botol kecil tempat ramuan obat-obatan.
·                     lei-lei , rnahkota dari bulu-buluan dan bunga-bungaan.
·                     cermin raksa, bergantung pada kalung depan dada.
·                     ogok, sejenis subang pada kedua telinga.  
Keadaan alam yang memaksa serta keterbelakangan menyebabkan mereka hanya memakai pakaian seperlunya saja. Masyarakat pulau ini tidak ada yang tidak mengerti mana auratnya. Wanita memakai rok sepuluh centimeter dibawah lutut, menutup dada dengan menyilangkan pelepah dari tengkuk diikatkan ke perut. Tradisi berpakaian seperti ini jarang ditemui di seluruh suku primitif manapun di dunia. Denda dan hukuman akan siap mendera bagi laki-laki yang menyia-nyiakan auratnya terlihat oleh orang lain. Seperti yang diceritakan tokoh masyarakat Mentawai menyatakan bahwa dari cawat itu tidak boleh terlihat keluar sehelai bulupun. Bila ini terjadi hukumannya pastilah berat. Pada masa sekarang para, pelancong berkulit putih yang datang ke Mentawai tidak jarang juga memakai tato sangat sering melakukan mandi telanjang tanpa menutupi aurat sama sekali seperti yang lazim berlaku di daerah asal mereka yang sudah maju. Kejadian seperti ini sangat kontras dengan kehidupan masyarakat Mentawai.          
Seiring dengan perkembangan, sekarang masyarakat Mentawai sudah mengenal pakaian dari kain. Walaupun begitu, biasanya Kerei (dukun) jarang atau tidak pernah memakai pakaian dari kain.
Masyarakat Mentawai juga menganut sistem Patrilineal yang disebut dengan Uma, yang mempunyai arti tempat tinggal. Uma didiami oleh beberapa orang yang masih berhubungan satu sama lain dalam hal keturunan, menjadi pusat kehidupan adat, yang memperhitungkan dan mempersatukan.
Meskipun mereka mendirikan rumah lain di tempat yang jauh, namun komunikasi dengan Uma tetap ada, sebab Uma merupakan rumah induk.
Di Mentawai terdapat tiga macam rumah, yaitu:
1.                  Uma
Rumah besar yang menjadi rumah induk tempat penginapan bersama serta tempat menyimpan warisan pusaka. Juga menjadi tempat suci untuk persembahan, penyimpanan tengkorak binatang buruan. Setiap kampung mempunyai Uma sendiri. Kepala Uma disebut Rimata, perlambang pemimpin kehormatan, orang yang lebih arif mengenai hal-hal yang penting buat Uma, seseorang yang berbakat pemimpin. Uma adalah rumah besar yang berfungsi sebagai balai pertemuan semua kerabat dan upacara-upacara bersama bagi semua anggotanya. Uma merupakan rumah panjang yang jadi pusat kehidupan yang didiami, biasanya sampai sepuluh keluarga. Mereka adalah satu keturunan dari garis ayah. Uma adalah sebuah kominitas yang bersifat eksogam. Dari uma segalanya mengalir, termasuk sistem kerja dan pembagian tanggung jawab. Uma biasanya dilengkapi dengan punen yang merupakan suatu periode hidup bersama dengan pengalaman keagamaan yang intens.
Salah satu kearifan lokal yang ada di masyarakat Mentawai, terlihat dari cara pemilihan tempat untuk membuat uma. Uma biasanya didirikan di dekat parit-parit kecil yang lebarnya sekitar 2-3 meter dan kedalaman 20-30 meter. Alasannya, untuk mendapatkan air bersih yang mencukupi. Pembuatan Uma dilakukan secara gotong royong. Sambungan-sambungan antar kayu dengan sistem pasak, takik dan ikat dengan akar kayu atau rotan sehingga mereka tidak membutuhkan paku untuk membuat rumah.
1.                  Uma terdiri dari tiga ruangan. Ruangan pertama adalah teras, biasanya digunakan untuk membuat racun dan panah atau mengolah sagu. Ruangan kedua adalah ruangan besar yang digunakan untuk berkumpul. Mereka juga menggunakan tempat ini untuk memasak babi dan keperluan upacara adat yang lain. Pada pintu masuk ruangan kedua ini biasanya dihiasi dengan ukiran-ukiran yang berfungsi sebagai jimat. Ukiran yang disebut jaraik itu berwujud tengkorak monyet, biasanya bokkoi jantan dewasa. Ruangan ketiga adalah Lalep
Tempat tinggal suami istri yang pernikahannya sudah dianggap sah secara adat. Biasanya lalep terletak di dalam Uma. Bentuk lalep sendiri adalah persegi empat, hampir bujur sangkar dengan ukuran sekitar panjang 6 m dan lebar 5 m. pembagian ruangannya cukup sederhana, di bagian depan adalah serambi terbuka yang merupakan tempat untuk menerima tamu. Sedang pada bagian dalam digunakan untuk ruang tidur keluarga. Di ruangan ini terdapat pula perapian yang digunakan untuk memasak suatu keadaan yang wajar mengingat kegiatan siang hari bagi laki-laki dihabiskan di lading atau di hutan, sementara istrinya bertugas di kebun halaman dan memasak.
Perkembangan kemudian membuat masyarakat Siberut mulai mengenal dapur individual untuk kegiatan memasak. Lalep muali dipasangi jendela sehingga venilasi menjadi lebih baik. Dibalik kenyataan ini, terjadilah hal-hal yang cukup menyedihkan yaitu keinginan untuk mendirikan uma semakin pupus. Mungkin karena untuk mendirikan uma dibutuhkan biaya yang tidak sedikit dan waktu yang cukup lama, sementara ikatan kekeluargaan berangsur-angsur longgar akibat pengaruh ekonomi uang yang diperkenalkan oleh pedagang dari ‘tanah tepi’ (Sumatera). Kenyataan semacam ini dapat membuat Siberut tak lagi mempunyai uma di awal abad ini (Alif, 1984:63). Hilangnya uma bukanlah hilangnya satu artefak fisik saja. Tetapi dapat menjadi lebih fatal: hilangnya suatu pandangan hidup yang mewujudkannya, yaitu kebersamaan.
2.                  Rusuk
Suatu pemondokan khusus, tempat penginapan bagi anak-anak muda, para janda dan mereka yang diusir dari kampung. Rusuk juga merupakan  rumah tinggal sementara dari pasangan muda .

Label:

0 komentar:

Posting Komentar