Semoga Bermanfaat n_n

Mentawai oh Mentawai

Rabu, September 22, 2010 / Diposting oleh GoZaLi /

Sumatera Barat tidak hanya dihuni oleh etnis (Melayu) Minangkabau, tetapi juga suku pedalaman yang berdiam di kepulauan Mentawai yang adat dan agamanya jauh berbeda dengan Minangkabau. Minangkabau diidentikan dengan agama Islam, sementara Mentawai masih dihuni sebagian besar agama nenek moyang. Bahkan sampai pada makanan pokokpun berbeda. Orang Minang beras menjadi makanan pokok, sementara Mentawai adalah sagu.
Bila sejarah alam Mentawai masih kabur, demikian pula tentang asal-usul orang Mentawai, ada beberapa pandangan. Sebagian ahli berpandangan mereka termasuk suku bangsa Melayu tua atau Proto Melayu, sebagian yang lain menduga bangsa Mentawai masih masuk dalam lingkungan bangsa Polinesia. Ada pula yang berpendapat bahwa orang Mentawai adalah Proto-Malayan yang bermigrasi dari lokalitas yang dekat, mengingat beberapa kemiripan antropologi ragawi dan kosmologinya dengan Nias. Yang menjadi pertanyaan, mengapa pada hunian mereka tak dijumpai peradaban batu besar seperti menhir, dolmen maupun batu kubur? Bisa jadi karena lokasi baru huniannya, atau karena kecilnya unit populasi migrannya sehingga kurang tenaga untuk membangun artefak-artefak batu. Beberapa peralatan berburu dan rumah tangga dari batu, sudah lama digantikan logam yang didatangkan dari Sumatera. Sementara itu, orang Mentawai sendiri mempercayai tradisi tutur, bahwa mereka berasal dari Pulau Nias yang turun ke daerah Simatalu di Pantai Barat Siberut. 
Suku Mentawai yang berdiam di Pulau Mentawai yang terletak di sebelah barat Pulau Sumatera adalah salah satu dari suku dan budaya yang paling tua di dunia. Cerita tentang Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, tidak hanya soal keindahan alam dan ombak yang menantang peselancar. Tidak hanya soal primata endemik dan lingkungan hutannya yang menjadi biosfer dunia, menjadi paru-paru dunia. Banyak hal, kalau kita lihat, cukup menarik untuk dicermati.
Keterkenalan Mentawai di mancanegara hampir menyamai Bali. Bahkan, orang lebih kenal Mentawai dan Bali daripada Indonesia. Bahkan, dalam beberapa hal, seperti pernah pula diungkapkan Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, Mentawai lebih unggul daripada Bali.                                         
Kepulauan Mentawai yang terletak sekitar 100 km di sebelah barat pantai pulau Sumatera, terdiri dari 40 pulau besar dan kecil. Diantaranya ada empat pulau besar yang didiami manusia, Siberut (4.097 km2) di utara sebagai pulau terbesar, Sipora (840 km2) ditengah, Pagai Utara dan Pagai Selatan (1.870 km2) di bagian selatan.                                                                     
Semuanya terletak pada 1000 Bujur Timur Greenwich dan 50 Lintang Selatan di bawah khatulistiwa. Luasnya 6.700 km2. Menurut pada ahli, pulau-pulau di Kepulauan Mentawai diperkirakan terpisah dari daratan Sumatra sejak 500.000 tahun lalu pada zaman Pleistocene, oleh naiknya permukaan air laut.                     
Kepulauan Mentawai sebenarnya memiliki 322 pulau besar dan kecil, tetapi yang sudah didiami tercatat 25 pulau. Secara administratif, daerah kepulauan seluas 6.011,35 km persegi ini dibagi menjadi empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Pagai Utara Selatan, Kecamatan Sipora, Kecamatan Siberut Utara, dan Kecamatan Siberut Selatan.              
Hanya di Siberut Selatan dan Siberut Utara kita dapat menemui suku asli Mentawai. Kepulauan Mentawai yang memiliki garis pantai sepanjang 758 kilometer ini, meski sudah menjadi daerah otonomi sejak lima tahun lalu, tetap saja tertinggal dalam berbagai sektor pembangunan. Secara geografis letaknya memang kurang menguntungkan apalagi sarana dan prasarana perhubungan sangat minim.                                                                                        
Di Kepulauan Mentawai tidak ada gunung, yang ada hanya perbukitan yang tingginya tidak melebihi 500 meter. Umumnya bertanah subur, datar serta berawa-rawa. Mentawai juga terkenal dengan hutan-hutannya yang masih belum terjamah. Di Mentawai banyak terdapat sungai-sungai kecil, dan sarana perhubungan yang paling umum digunakan adalah melalui sungai.                        
Sekalipun dari segi posisi geografis merupakan suatu kelompok, kebudayaan tradisional Mentawai sangat berbeda-beda. Menurut peneliti Ady Rosa dari Universitas Negeri Padang, ada puluhan macam suku di Mentawai yang satu sama lain berbeda kebudayaannya, tetapi ada juga yang sama. ”Kebudayaan tradisional di Kepulauan Mentawai, baik dari segi teknologi, sosial, maupun religius, di beberapa tempat bahkan sampai saat ini masih tetap menampakkan wujud neolitik (zaman batu muda),” katanya.
Dilihat dari segi kepercayaan, meskipun mayoritas orang Mentawai memeluk agama Katolik dan sebagian beragama Protestan, Islam atau Bahai, masih banyak penduduk asli Mentawai, terutama yang masih di pedalaman masih erat menganut kepercayaannya yang asli, mengagungkan roh nenek moyang, dan percaya kepada benda benda, batu batu, dan pohon pohon yang dianggap mempunyai kekuatan magis,. Kepercayaan tersebut dahulu dinamakan kepercayaan Sabulungan, sama dengan kepercayaan zaman jahiliyah, yang dalam bahasa asli disebut ketsat atau kere. Sabulungan berasal dari kata sa dan bulung. Sa berarti seikat, bulung artinya daun. Sabulungan mengajarkan keseimbangan antara alam dan manusia.        Penduduk Mentawai meyakini sekumpulan daun memiliki tenaga gaib yang mereka disebut kere atau ketsat. Karena itu pulalah, takala membakar babi, mereka tidak memakai kayu, tetapi dedaunan dan sedikit ranting. Daun bagi suku Mentawai dianggap memiliki kekuatan magis untuk menyembuhkan dan menghidupkan. Daun selalu ada dalam upacara-upacara suku Mentawai. Masyarakat Mentawai pun dikenal dengan kemampuan mereka yang menakjubkan, yakni menyembuhkan orang sakit dengan menggunakan daun-daunan liar yang tumbuh di hutan.
Daun juga dipercaya mampu menghubungkan manusia dengan penguasa jagat raya yang disebut Ulau Manua. Daun, atau lebih luas pohon dan hutan, menurut keyakinan mereka, merupakan tempat bersemayam dewa-dewa yang harus dihormati. Jika tidak, malapetakalah yang akan ditemui.                                               
Ada tiga dewa yang dihormati dalam ajaran sabulungan. Pertama Tai Kaleleu, yakni dewa hutan dan gunung. Pesta adat atau punen mulia yang dilakukan sebelum berburu dipersembahkan kepada dewa ini.                                                
Kedua adalah Tai Leubagat Koat, yang merupakan dewa laut atau dewa air. Air dihormati karena memberikan kehidupan, tetapi kadang-kadang juga menimbulkan badai. Tai Leubagat Koat layaknya Dewa Syiwa dalam agama Hindu. Ketiga, Tai Kamanua, dewa langit, sang pemberi hujan dan kehidupan. Ketiga dewa itulah yang menjaga keseimbangan alam.     
Kepercayaan ini mengajarkan manusia untuk memperlakukan alam, tumbuh-tumbuhan, air, dan binatang seperti dirinya. Mereka arif menjaga dan melindungi hutan di tanah mereka melalui peraturan adat. Untuk menebang pohon harus melalui persetujuan rimata/kerei (kepala suku) dan sikerei (dukun). Menebangnya pun dengan sistem tebang pilih, tidak boleh sembarangan. Sebelum menebang pohon atau hutan, harus pula diadakan punen mulia yang merupakan suatu upacara adat semacam permintaan izin dan ucapan terima kasih.      
Di masa lalu masyarakat Mentawai juga mengenal panaki, suatu upacara untuk membuka hutan menjadi ladang. Dengan guntingan kain kecil-kecil yang disangkutkan pada satu tiang kayu, mereka yang membuka hutan meminta izin kepada penguasa hutan agar penguasa itu tidak terkejut. Tanpa panaki, pembukaan hutan menjadi ladang tidak mungkin dilakukan.
Penguasa hutan disebut eppu, sedangkan penguasa sungai disebut jagot bat hoinan. Selain menggunting kain kecil-kecil, orang yang membuka hutan juga meletakkan tembakau. Mereka percaya bahwa apabila hal ini tidak dilakukan penguasa hutan akan marah dan mendatangkan malapetaka.                                                 
Tidak hanya menebang hutan, mengotori air juga merupakan suatu tindakan yang tidak bisa dibenarkan, bahkan bisa mendatangkan hukuman berupa denda adat. Denda itu setara dengan seekor babi, yang termasuk harta berharga bagi masyarakat Mentawai. Di sungai, buang air kecil saja dilarang, apalagi buang air besar, sangat tidak diperbolehkan karena air adalah sumber kehidupan. Air dari hulu ke hilir sungai memang terlihat bersih tanpa pencemaran.




Gambar kiri: Kepala suku, Kerei, yang dipercaya berkemampuan magis, pemimpin pula dalam kepercayaan Sabu-lungan, merangkap ahli pengobatan (Sumber: Lantang, www.indo-media. com/intisari/ 2001/)

Saat ini masyarakat Mentawai telah memeluk agama resmi. Seiring dengan masuknya pengaruh dari luar, baik masa penjajahan maupun setelah kemerdekaan Indonesia, sabulungan tidak bisa lagi dilakukan dalam bentuk formal. Sabulungan dianggap kepercayaan yang sesat, bahkan segala atribut mereka dibakar dan dimusnahkan. Padahal, yang mereka sembah adalah penguasa langit dan bumi yang tidak kelihatan, yang oleh sejumlah agama disebut Tuhan.
Saat pemerintah menetapkan lima agama yang boleh dianut oleh masyarakat, perlahan-lahan bentuk formal kepercayaan ini mulai hilang. Tetapi kepercayaan ini khususnya di daerah pedalaman masih sangat kuat. Mereka arif menjaga dan melindungi hutan di tanah mereka melalui peraturan adat. Salah satu bentuk sabulungan yang masih kentara terwujud dalam upacara penyembuhan orang sakit oleh sikerei. Upacara berlangsung sejak malam hingga pagi hari. Sore hari sikerei mengambil daun obat di hutan. Kemudian ia berkeliling kampung sambil membunyikan genta sebagai penanda adanya upacara penyembuhan orang sakit. Pada tengah malam sikerei akan masuk ke tengah hutan yang merupakan makam nenek moyang dan berdoa untuk memanggil roh. Roh dari hutan itulah yang akan menyembuhkan orang yang sakit.
Tidak hanya daun yang berkhasiat untuk menyembuhkan si sakit, hutan pun memberikan kayu yang bagus yang bisa dibuat sampan. Sampan merupakan sarana vital masyarakat suku Mentawai untuk saling berhubungan. Dikelilingi hutan lebat dan laut, sampan menjadi satu-satunya alat transportasi suku Mentawai karena jalan darat berupa jalan setapak yang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki.                                                                                      
Seperti dalam banyak sistem religi di dunia, religi asli orang Mentawai juga mempunyai masa nyepi, atau menghentikan aktivitas hidup untuk sementara, yaitu masa lia dan punen yang dianggap suci. Lia adalah menghentikan aktivitas hidup dalam rangka keluarga inti, dan biasanya menyangkut masa-masa yang penting sepanjang hidup, seperti membangun lalep, atau rumah tangga inti, kelahiran, perkawinan, masa ada anggota keluarga sakit, kematian, dan membuat perahu. Punen adalah nyepi dalam rangka masyarakat dewa sebagai keseluruhan dan biasanya menyangkut masa sebelum dan sesudah membangun uma, kecelakaan, saat berjangkitnya wabah penyakit menular, dan pada waktu terjadi kecelakaan atau karena pembunuhan, yang mengakibatkan banyak orang mati.                       
Apabila anggota suatu keluarga menjalankan lia atau punen, mereka tak boleh bekerja. Bahkan seperti telah tersebut di atas, kalau pada masa lia atau punen terjadi kematian, jenazah tak boleh diurus dulu tetapi dibiarkan saja dan hanya ditutup daun.            Walaupun semua aktivitas berhenti, untuk waktu yang lama kadang-kadang sampai berminggu-minggu, orang diperbolehkan makan dan minum seperti biasa. Karena itu lia dan punen itu tidak merupakan puasa.                           
Punen yang berlangsung lama adalah punen untuk pengukuhan rimata dan sikere, yaitu pemimpin dan dukun. Upacara yang menyertai punen bisa berlangsung sekitar dua bulan. Erat kaitannya dengan konsep lia dan punen adalah konsep pantangan atau keikei, yaitu melanggar pantangan, terutama dalam masa-masa yang suci (atau dalam rangka upacara-upacara yang suci) dan pelanggarannya akan dihukum dengan hukuman gaib. Hukuman gaib itu harus dihilangkan dengan denda-adat atau tulon tersebut di atas.                            
Untuk menempatkan benda-benda baru ke dalam uma, harus diadakan upacara terlebih dahulu, dan benda baru tersebut harus diletakkan di samping benda yang lama. Tujuannya adalah agar supaya bajou dari benda yang lama tidak marah dan agar “mereka” dapat berkenalan. Tanpa upacara akan terjadi sesuatu di dalam uma yang bersangkutan. Begitu juga dengan kedatangan orang dari kelompok kerabat lain ke dalam uma, seperti misalnya dalam perkawinan, disertai upacara yang gunanya untuk menetralisir pengaruh bajou. Bajou dapat membawa penyakit panas dan demam, karena itu benda-benda yang ada di dalam uma harus diperciki air yang bermantera.                                                                                                      
Serupa dengan di semua sistem kepercayaan atau religi lokal di dunia, sabulungan orang Mentawai juga mengenal ilmu gaib yang berdasarkan dua keyakinan, ialah (1) keyakinan akan adanya hubungan gaib antara hal-hal yang walaupun berbeda fungsinya, mirip wujud, warna, sebutan atau bunyinya; dan (2) keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang sakti tetapi tak berkemauan atau bajou dalam alam sekitar manusia.                                                   
Baik segala macam ilmu gaib produktif yang merupakan bagian dari upacara kesuburan tanah misalnya, atau ilmu gaib protektif yang juga sangat penting dalam ilmu obat-obatan dan penyembuhan penyakit secara tradisional, maupun segala macam ilmu gaib destruktif yang antara lain dipergunakan dalam ilmu sihir dan guna-guna, semuanya bisa dikembalikan kepada kedua keyakinan tersebut di atas. Ilmu gaib produktif dan protektif yang biasanya merupakan ilmu gaib putih atau baik, dilakukan oleh sikerei, sedang ilmu gaib destruktif yang biasanya merupakan ilmu gaib hitam atau jahat dilakukan oleh pananae. Seperti juga dalam banyak sistem kepercayaan dan religi lokal di dunia, kekuatan sakti yang tak berkemauan (bajou), dalam sistem kepercayaan orang Mentawai juga dianggap beradal dalam segala hal yang luar biasa dan dalam benda-benda keramat, serta dalam uma (sebagai rumah umum yang keramat). Benda-benda itu, yang seperti telah tersebut di atas adalah amat simagere, batu kerebau buluat, orat simagere, dan tudukut, serta dapat ditambah lagi dengan sejumlah daun-daunan dan akar-akar kering dari tumbuh-tumbuhan berkhasiat yang disebut bakkat katsaila, berfungsi sebagai jimat (tae) penolak bahaya gaib atau sebagai benda untuk mengundang ruh Yang baik.                                                                                                   


Label:

0 komentar:

Posting Komentar