Semoga Bermanfaat n_n

Faktor-Faktor Terjadinya Penyimpangan Agama

Selasa, September 28, 2010 / Diposting oleh GoZaLi /

1. Kebodohan, karena tidak ada kemauan (dan enggan) untuk mempelajarinya, sehingga ia tidak bisa mengenal mana yang benar mana yang salah menurut aqidah Islam. Dalam kehidupan ini manusia belajar memahami arti kebaikan (haq) dan keburukan (bathil) dari berbagai sumber, baik dari sumber syariah Islam, dari pergaulan serta dari kesepakatan umum antar manusia mengenai akhlak (karena sebagian kebaikan memang sudah ada dalam diri manusia sebagai fitrah). Namun kebenaran yang mutlak (haq) bersumber dari Allah (syariah Islam), sedang yang bersumber dari manusia dibatasi akal dan kepentingan manusia. Akal manusia terbatas, karena itu tidak mampu memahami secara baik mengapa babi diharamkan. Demikian juga kepentingan manusia dibatasi nafsunya, misalnya pendapat kaum liberal bahwa perzinahan dibolehkan asal mau sama mau. Keterbatasan manusia ini jelas difirmankan Allah SWT dalam Al Qur’an, surat Al Baqarah ayat 216, “. . . Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”        
          
                                                                                               
2. Fanatik (ta’ashshub) kepada sesuatu yang diwarisi orang tua atau nenek moyang kita (tradisi), sekalipun hal itu bathil, atau menolak yang bertentangan dengan tradisi sekalipun itu benar. Ketahuilah bahwa ketentuan dalam syariah Islam tidak pernah berubah, sedang kehidupan dan ilmu manusia bisa berubah dari waktu ke waktu. Karena itu hendaknya kita secara langsung belajar dan berpedoman pada Qur’an dan Hadits, tidak sekedar mengikuti kebiasaan yang ada tanpa memahami ilmunya. Disinilah pentingnya mempelajari agama Islam secara benar untuk meluruskan aqidah maupun syariatnya agar kita tidak sekedar melakukan ibadah sesuai tradisi (kebiasaan) yang kita terima di keluarga kita atau di lingkungan kita. Bisa jadi tradisi (kebiasaan) itu menyimpangkan ilmu akibat membiasnya proses penyampaian atau penerimaan ilmu, bisa jadi pula karena orang tua atau kakek kita belajar dari sumber yang salah, atau bisa jadi pula karena terbatasnya waktu pendidik kita (orang tua atau guru sekolah) kita dalam menyampaikan ilmu agama secara lengkap.


3. Taqlid (mengikuti) secara buta, yaitu mengikuti pendapat manusia tanpa menyelidiki seberapa jauh kebenaran dalil yang ia gunakan. Bila ia mengikuti suatu imam atau ajaran yang sesat tanpa mau menyelidikinya, maka jadilah ia penganut paham yang sesat.


4. Ghuluw (berlebihan) dalam mencintai para wali atau orang-orang yang shalih, bahkan mengangkat derajat mereka dibanding manusia lainnya. Termasuk diantara mereka misalnya orang yang meminta sesuatu melalui ziarah kubur kepada para wali, atau mengikuti ajaran seorang shaleh panutannya sambil menolak atau meremehkan ajaran dari orang sholeh lainnya. 


5. Ghaflah (lalai) terhadap perenungan terhadap kebesaran dan sifat-sifat Allah di alam jagad raya ini (ayat-ayat kauniyah) dan yang tertuang dalam Kitab-Nya (Qur’aniyah). Mereka lebih kagum pada hasil karya manusia, teknologi, seni dan kebudayaan ciptaan manusia. Bahkan mereka menganggap keunggulan dan keindahan karya manusia itu memang hasil kreasi manusia semata tanpa campur tangan Allah. Ingatlah firman Allah, “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS, As-Shaffat:96)


6. Rumah tangga (keluarga) yang hampa dari ajaran Islam, yaitu para orang tua yang tidak peduli terhadap pendidikan agama Islam bagi anak-anaknya. Padahal orang tua mempunyai peranan terbesar dalam menentukan lurus tidaknya jalan hidup anaknya berdasarkan syariah Islam. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Orang tuanya lah yang kemudian menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari).


7. Godaan lingkungan, yaitu berupa godaan cara dan gaya hidup yang menggunakan nilai-nilai kebaikan yang tidak sesuai syariah Islam, termasuk dalam hal ini godaan gaya hidup maksiat yang menurut standard bangsa barat yang liberal dipandang sebagai hal yang normal. Umat yang lemah iman dan ilmunya melihat hal ini wajar-wajar saja dan tidak berbahaya, sedang ajaran Islam telah menentukan dengan jelas mana yang benar (haq) dan mana yang salah (bathil). Sebagai contoh, di kolam renang pria dan wanita dengan pakaian yang hanya menutup paha atas dan (hingga) dada sudah dianggap wajar dan sopan menurut masyarakat masa kini, tapi tidak menurut Islam. Contoh lain, sebagian umat Islam yang awam menganggap mengucapkan selamat hari raya agama lain dianggap wajar dan menunjukkan sikap baik karena menghormati toleransi beragama, padahal berbagai dalil Qur’an dan Hadits telah melarangnya, dan keharamannya ditegaskan pula dalam fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia). Secara sosial, nilai-nilai barat seperti demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang diadopsi dari pemikir barat lebih mudah diterima (bahkan dipaksakan) pada semua lintas agama dan lintas bangsa. Namun kalau diteliti, nilai-nilai kebaikan tersebut berbahaya dalam jangka panjang apalagi menurut syariah Islam. Dalam situasi dunia yang dikuasai barat, maka umat Islam ditekan secara halus maupun kasar untuk menerapkan demokrasi dan HAM ala barat dengan cara tekanan ekonomi, tekanan politik, tekanan kekuatan angkatan perang mereka, dan bahkan di dalam negeri sendiri media massanya banyak yang sudah sejalan dengan pemikiran liberal mereka.

Label:

0 komentar:

Posting Komentar